Sejarah Sunan Kudus
SEJARAH
SUNAN KUDUS
Sunan
Kudus atau Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan adalah putra dari
pasangan Raden Usman haji yang bergelar Sunan Ngudung dengan
Syarifah Dewi Rahil binti Sunan Bonang. Beliau Lahir pada 9 September
1400M/ 808 Hijriah. Ayahanda beliau yaitu Sunan Ngudung adalah putra
Sultan di Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali Murtazha (Raja Pandita/Raden
Santri) yang berhijrah dari sabilillah hingga ke Jawa. Dan sampai di Kekhilafahan Islam
Demak kemudian diangkat menjadi Panglima Perang.
Di dalam
babad tanah jawa, disebutkan
bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Majapahit. Sunan ngudung selaku
senopati Demak berhadapan dengan Raden Husain atau Adipati Terung dari
Majapahit. Dalam pertempuran itu Sunan Ngudung gugur sebagai pahlawan sahid.
Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian digantikan
oleh Sunan Kudus puteranya sendiri yang bernama asli Ja’far Sodiq.
Jati Diri
Sunan Kudus
Nama Ja'far Shadiq diambil dari nama datuknya yang
bernama Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali
bin Husain bin Ali bin Abi Thalib yang beristerikan Fatimah
az-Zahra binti Muhammad.
Sunan Kudus sejatinya bukanlah asli penduduk Kudus, ia
berasal dan lahir di Al-Quds negara Palestina. Kemudian bersama kakek, ayah dan
kerabatnya berhijrah ke Tanah Jawa.
Silsilah
Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden
Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran
binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan
ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha
bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin
bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib
Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin
Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin
Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah
Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah.
Sunan Kudus
Dalam Babad Tanah Jawi
Babad Tanah Jawi (selanjutnya disebut BTJ) adalah
terjemahan dari Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam
Doemoegiing Taoen 1647 yang disusun oleh W. L. Olthof di Leiden, Belanda, pada
tahun 1941. Seperti pada pengertian babad pada umumnya, di sini terdapat
cerita-cerita tentang pendirian sebuah negara (kerajaan) dan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar kerajaan tersebut serta kisah dari
sunan Kudus
Asal-Usul
Nama Kota Kudus
Dahulu kota Kudus masih bernama Tajug. Kata warga
setempat, awalnya ada Kyai Telingsing yang mengembangkan kota ini. Telingsing
sendiri adalah panggilan sederhana kepada The Ling Sing, seorang Muslim Cina
asal Yunnan, Tiongkok. Ia sudah ada sejak abad ke-15 Masehi dan menjadi cikal
bakal Tionghoa muslim di Kudus. Kyai Telingsing seorang ahli seni lukis dari
Dinasti Sung yang terkenal dengan motif lukisan Dinasti Sung, juga sebagai
pedagang dan mubaligh Islam terkemuka. Setelah datang ke Kudus untuk
menyebarkan Islam, didirikannya sebuah masjid dan pesantren di kampung Nganguk.
Raden Undung yang kemudian bernama Ja’far Thalib atau lebih dikenal dengan nama
Sunan Kudus adalah salah satu santrinya yang ditunjuk sebagai penggantinya
kelak.
Kota ini sudah ada perkembangan tersendiri sebelum
kedatangan Ja’far Shodiq. Beberapa kiah tutur percaya bahwa Ja’far itu seorang
penghulu Demak yang menyingkir dari kerajaan. Awal kehidupan Sunan Kudus di
Kudus adalah dengan berada di tengah-tengah jamaah dalam kelompok kecil.
Penafsiran lainnya itu memperkirakan bahwa kelompok kecilnya itu adalah para
santrinya sendiri yang dibawa dari Demak sana, sekaligus juga tentara yang siap
memerangi Majapahit. Versi lainnya mereka itu adalah warga setempat yang
dipekerjakannya untuk menggarap tanah ladang. Berarti ada kemungkinan juga
Ja’far memenuhi kebutuhan hidupnya di Kudus dimulai dengan menggarap ladang
Pendidikan
Sunan Kudus
Kanjeng Sunan Kudus (selanjutnya disingkat KSK) banyak
berguru kepada Sunan Kalijagadan ia menggunakan gaya berdakwah
ala gurunya itu yang sangat toleran pada budaya setempat serta cara
penyampaian yang halus. Didekatinya masyarakat dengan memakai simbol-simbol
Hindu-Budha seperti yang nampak pada gaya arsitektur Masjid Kudus.
Disamping belajar agama kepada
ayahnya sendiri, Ja’far Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal.
Diantaranya kepada Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan Ampel.
Nama asil
Kiai Telingsing ini adalah Ling Sing, beliau adalah seorang ulama dari negeri
cina yang datang ke pulau jawa bersama laksamana jenderal Cheng
Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah, jenderal Cheng Hoo yang beragama
Islam itu datang ke pulau jawa untuk mengadakan tali persahabatan
dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.
Fakta
Mengenai Sunan Kudus
Sunan Kudus berhasil menampakkan warisan budaya dan
tanda dakwah islamiyahnya yang dikenal dengan pendekatan kultural yang begitu
kuat. Hal ini sangat nampak jelas pada Menara Kudus yang merupakan hasil
akulturasi budaya antara Hindu-China-Islam yang sering dikatakan sebagai
representasi menara multikultural. Aspek material dari Menara Kudus yang
membawa kepada pemaknaan tertentu melahirkan ideologi pencitraan tehadap Sunan
Kudus. Mitos Sunan Kudus selain dapat ditemui pada peninggalan benda cagar
budayanya, juga bisa ditemukan di dalam sejarah, gambar, legenda, tradisi,
ekspresi seni maupun cerita rakyat yang berkembang di kalangan masyarakat
Kudus. Kini ia populer sebagai seorang wali yang toleran, ahli ilmu, gagah
berani, kharismatik, dan seniman.
Satu fakta utama yang dapat masyarakat lihat pada mata
uang kertas Rp. 5.000,00 dengan gambar Menara Kudus. Ini merupakan suatu bentuk
apresiasi dari Gubernur Bank Indonesia yang dijabat oleh Arifin Siregar pada
masa itu.
Mengenai hari jadi kota Kudus sendiri (23 September
1549, berdasarkan Perda No. 11 Tahun 1990 yang diterbitkan tanggal 6 Juli 1990)
memang tak bisa dilepaskan dari patriotisme Sunan Kudus sendiri. Bukti nyatanya
dapat dilihat dalam inskripsi yang terdapat pada Mihrab di Masjid Al-Aqsa Kudus
yang dibangun pada 956 H/1549 M oleh Sunan Kudus. Maka dalam setiap perayaan
hari jadinya tak pernah lupa semangat dan patriotisme Sunan Kudus dalam
memajukan rakyat dan ummatnya.
Menurut Muliadi via Castles (1982); Ismudiyanto dan
Atmadi (1987); dan Suharso (1992), menyebutkan bahwa: “ Dalam sejarah, Kudus
Kulon dikenal sebagai kota lama dengan diwarnai oleh kehidupan keagamaan dan
adat istiadatnya yang kuat dan khas serta merupakan tempat berdirinya Masjid
Menara dan Makam Sunan Kudus; serta merupakan pusat tempat berdirinya
rumah-rumah asli (adat pencu). Sementara Kudus Wetan terletak di sebelah Timur
Sungai Gelis, dan merupakan daerah pusat pemerintahan, pusat transportasi, dan
daerah pusat perdagangan.”
Salah satu bentuknya ialah tarian Buka Luwur yang
menggambarkan sejarah perjalanan masyarakat Kudus sepeninggal Sunan Kudus
hingga terbentuk satuan wilayah yang disebut Kudus. Tradisi ini telah menjadi
kegiatan rutin pengurus Menara Kudus setiap tanggal 10 Muharram dengan dukungan
umat Islam baik di Kudus maupun sekitarnya. Ini merupakan prosesi pergantian
kelambu pada makam Sunan Kudus diiringi doa-doa dan pembacaan kalimah toyyibah
(tahlil, shalawat, istigfar, dan surat-surat pendek al-quran yang sebelumnya
telah didahului dengan khataman quran secara utuh).
Ada lagi tradisi Dhandangan yang
digelar setahun sekali menjelang bulan Ramadhan. Pada masa Sunan Kudus tradisi
ini ditandai dengan pemukulan bedug di atas Menara Kudus (berbunyi dhang dhang
dhang). Tradisi ini pun memperkuat eksistensi Sunan Kudus. Selain itu
masyarakat Kudus hingga saat ini tak pernah berani menyembelih sapi/lembu
sebagai suatu penghormatan kepada Sunan Kudus yang mana dakwahnya menekankan
unsur kebijaksanaan dan toleransi karena kala itu masyarakat Kudus masih
beragama Hindu yang menyucikan hewan lembu.
Dakwah Sunan Kudus
Beliau adalah Sunan Kudus yang
bernama asli Syekh Ja’far Shodiq. Beliau pula yang menjadi salah satu dari
anggota WaliSongo sebagai penyebar Islam di Tanah Jawa. Sosok Sunan Kudus begitu sentral
dalam kehidupan masyarakat Kudus dan sekitarnya. Kesentralan itu terwujud
dikarenakan Sunan Kudus telah memberikan pondasi pengajaran keagamaan dan
kebudayaan yang toleran.
Sunan Kudus termasuk pendukung
gagasan, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang menerapkan strategi
dakwah kepada masyarakat sebagai berikut :
1. Membiarkan
dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar dirubah. Mereka sepakat
untuk tidak mempergunakan jalan kekerasan atau radikal menghadapi masyarakat
yang demikian.
2. Bagian
adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dirubah maka segera
dihilangkan.
3. Tut
Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat
rakyat tetapi diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit dan
menerapkan prinsip Tut Wuri Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang sambil
mengisi ajaran agama Islam.
4. Menghindarkan
konfrontasi secara langsung atau secara keras didalam cara menyiarkan agama
Islam. Dengan prinsip mengambil ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya.
5. Pada
akhirnya boleh saja merubah adat dan kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat
Islam. Kalangan umat Islam yang sudah tebal imannya harus berusaha menarik
simpati masyarakat non muslim agar mau mendekat dan tertarik dengan ajaran
Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali dengan konsekuen. Sebab dengan
melaksanakan ajaran Islam secara lengkap otomatis tingkah laku dan gerak-gerik
mereka sudah merupakan dakwah nyata yang dapat memikat masyarakat non-muslim.
Cara Berdakwah Sunan Kudus Terhadap Umat Hindu dan
Budha
Di Kudus pada waktu itu penduduknya
masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam
tentu bukannya pekerjaan mudah. Terlebih mereka yang masih memeluk kepercayaan
lama dan memegang teguh adat-istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Di dalam
masyarakat seperti itulah Ja’far Sodiq harus berjuang menegakkan agama.
Beberapa nilai toleransi yang
diperlihatkan oleh Sunan Kudus terhadap pengikutnya yakni dengan melarang
menyembelih sapi kepada para pengikutnya. Bukan saja melarang untuk
menyembelih, sapi yang notabene halal bagi kaum muslim juga ditempatkan di
halaman masjid kala itu.
Langkah Sunan Kudus tersebut tentu
mengundang rasa simpatik masyarakat yang waktu itu menganggap sapi sebagai
hewan suci. Mereka kemudian berduyun-duyun mendatangi Sunan Kudus untuk
bertanya banyak hal lain dari ajaran yang dibawa oleh beliau.
Lama-kelamaan, bermula dari situ,
masyarakat semakin banyak yang mendatangi masjid sekaligus mendengarkan
petuah-petuah Sunan Kudus. Islam tumbuh dengan cepat. Mungkin akan menjadi lain
ceritanya jika Sunan Kudus melawan arus mayoritas dengan menyembelih sapi.
Selain berdakwah lewat sapi, bentuk
toleransi sekaligus akulturasi Sunan Kudus juga bisa dilihat pada pancuran atau
padasan yang berjumlah delapan yang sekarang difungsikan sebagai tempat
berwudlu. Tiap-tiap pancurannya dihiasi dengan relief arca sebagai ornamen
penambah estetika. Jumlah delapan pada pancuran mengadopsi dari ajaran Budha
yakni Asta Sanghika Marga atau Delapan Jalan Utama yang menjadi pegangan
masyarakat saat itu dalam kehidupannya. Pola akulturasi budaya lokal
Hindu-Budha dengan Islam juga bisa dilihat dari peninggalan Sunan Kudus berupa
menara. Menara Kudus bukanlah menara yang berarsitektur bangunan Timur Tengah,
melainkan lebih mirip dengan bangunan Candi Jago atau serupa juga dengan bangunan
Pura di Bali.
Menara tersebut difungsikan oleh
Sunan Kudus sebagai tempat adzan dan tempat untuk memukul bedug setiap kali
datangnya bulan Ramadhan. Kini, menara yang konon merupakan menara masjid
tertua di wilayah Jawa tersebut dijadikan sebagai
landmark Kabupaten Kudus.
Sesudah berhasil menarik umat Hindu
kedalam agama Islam hanya karena sikap toleransi yang tinggi, yaitu menghormati
sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun menara mesjid mirip dengan
candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Budha. Caranya? Memang
tidak mudah, harus kreatif dan tidak bersifat memaksa.
Sesudah mesjid berdiri, Sunan Kudus
membuat padasan atau tempat wudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan.
Masing-masing pancuran diberi arca kepala kebo gumarang diatasnya. Hal ini
disesuaikan dengan ajaran Budha, “Jalan berlipat delapan” atau Sanghika
Marga” yaitu :
1. Harus
memiliki pengetahuan yang benar
2. Mengambil
keputusan yang benar
3. Berkata
yang benar
4. Hidup
dengan cara yang benar
5. Bekerja
dengan benar
6. Beribadah
dengan benar
7. Dan
menghayati agama dengan benar.
Usahanya pun membuahkan hasil, banyak umat Budha yang
penasaran, untuk itu Sunan Kudus memasang lambang wasiat Budha itu di
padasan atau tempat berwudhu, sehingga mereka berdatangan ke mesjid untuk
mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
Karya Sunan Kudus
Pada tahun 1530, Sunan Kudus
mendirikan sebuah mesjid di desa Kerjasan, Kota Kudus, yang kini
terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus dan masih bertahan hingga
sekarang. Sekarang Masjid Agung Kudus berada di alun-alun kota Kudus Jawa Tengah. Peninggalan lain dari
Sunan Kudus adalah permintaannya kepada masyarakat untuk tidak memotong hewan
kurban sapi dalam perayaan Idul Adha untuk menghormati masyarakat penganut
agama Hindu dengan mengganti kurban sapi dengan memotong kurban kerbau, pesan
untuk memotong kurban kerbau ini masih banyak ditaati oleh masyarakat Kudus
hingga saat ini.
Wafatnya Sunan Kudus
Sunan Kudus meninggal dunia pada tahun 1550 M saat
menjadi Imam sholat Subuh di Masjid Menara Kudus, dalam posisi sujud. kemudian
dimakamkan di lingkungan Masjid Menara Kudus.
JM Gaming in New Zealand - JTM Hub
BalasHapusJM Gaming (JM) has appointed Senior Manager 고양 출장마사지 of 성남 출장안마 Business Development on the Board of Directors 파주 출장마사지 of the Gambling 대전광역 출장샵 Commission. 경기도 출장샵 JM Gaming will work on the